Tanah Papua Belum Siap, Jangan Paksakan Pembentukan DOB.

Opini | 2022-04-17

© Disediakan oleh Jalurinfo.com Oleh Willem Wandik, S.Sos Anggota Komisi V DPR RI Dapil Papua
Seharusnya Pemerintah Pusat berkaca terlebih dahulu, melakukan introspeksi kedalam, dengan banyaknya penolakan opsi pemekaran Provinsi Papua, yang di dukung oleh elemen masyarakat asli Papua secara luas, dimana rakyat yang menolak itu bukan partisan dari dukungan politik siapapun.. Mereka bersuara dari nurani mereka sebagai masyarakat asli Papua..

Terdapat pengalaman yang kurang mengenakkan, bahkan menjadi catatan hitam bagi orang asli Papua, dimana paket "janji revisi Otsus Papua" yang katanya menjadi solusi bagi konflik berkepanjangan di Tanah Papua, pada faktanya justru menjadi ajang bagi pemerintah pusat, untuk mengurangi kewenangan otsus, menjarah kembali hak hak dan kewenangan Pemerintahan Daerah di Tanah Papua, dikembalikan ke Pemerintah Pusat, dengan kendali otoritas penuh, dan yang dibungkus dengan ambisi legalisasi penguasaan sumber daya alam di Tanah Papua..

Kami tentunya banyak belajar dari sikap "hipokrit pusat" di masa lalu, dan tidak ingin terjebak pada janji janji manis, yang justru melemahkan posisi Masyarakat Asli Papua dalam pendekatan legalitas UU..

Kami hanya ingin mengingatkan kepada Pemerintah Pusat, bahwa sikap inkonsistensi para elit dan wacana yang terus mempertontonkan sikap munafik, kebohongan, akan melahirkan perlawanan secara luas di masyarakat asli Papua.. Jika pusat tidak bisa membantu satu inci pun masalah di Tanah Papua, kami menghimbau jangan membuang satu inci kotoran sejarah Pemekaran yang kami tidak butuhkan di Tanah Papua, dan konsep pemekaran itu, hanya akan menjadi sampah kotoran pikiran dan kepentingan para elit pusat, yang sejatinya akan kami lawan dengan cara yang menyakitkan.. Wa Wa

Ketiga: Belum tuntasnya konflik bersenjata dan implikasi pelanggaran HAM yang terus menjadi beban sejarah di Tanah Papua

Pertumpahan darah di Tanah Papua itu bukanlah mitos karya fiksi seperti yang tampil dilayar layar TV nasional.. melainkan realitas "kepedihan, kepahitan, kesakitan, kehilangan, yang dirasakan oleh orang asli Papua, ras melanesia" dalam kesehariannya (dalam kurun waktu yang tidak bisa diprediksi, bisa berlangsung 10 tahun, bisa berlangsung 20 tahun, atau bahkan akan menjadi konflik abadi).. Itu bukan keadaan candaan yang bisa hanya diselesaikan oleh "omongan niat baik semata", apalagi Elit Pusat makin memperuncing masalah, seperti menyiramkan Bensin dalam Api, dengan mengatur opsi Pemekaran di Provinsi Papua.. Kami perlu sekali lagi mengingatkan kepada Suku Suku lain yang ada di Republik Indonesia ini, bahwa Orang Asli Papua yang merupakan keturunan Ras melanesia itu, memiliki prinsip hidup Komunal "hidup bersama", bukan hidup individualistik "memisahkan diri secara sosial dari kelompok masyarakat lainnya"..

Mendorong pemekaran Provinsi Papua ditengah pertumpahan darah di Masyarakat Komunal Tanah Papua itu merupakan penghinaan kepada eksistensi masyarakat komunal Tanah Papua, yang memiliki ikatan hidup bersama sebagai satu kesatuan masyarakat adat.. Pada gilirannya, akan mendorong konflik sektarian, memprovokasi perasaan tidak suka kepada suku suku komunal lainnya, karena perbedaan wilayah administrasi Pemerintahan.. Sampai kapan, Pemerintah Pusat, selalu salah mendiagnosis kebutuhan rakyatnya, dimana ada peperangan di wilayah adat masyarakat komunal Tanah Papua yang seharusnya dituntaskan terlebih dahulu, dan pada saat yang bersamaan, justru elit nasional sibuk mengurus pemekaran dan persiapan ijin ijin konsesi yang siap di tandatangani sebagai imbalan dukungan pemekaran.. itu merupakan kejahatan kemanusiaan yang tidak bisa kami maafkan. Keempat: Masyarakat asli Papua memandang pemekaran sebagai politik adu domba dan pemisahan "elemen sosio kultural historis bangsa ras melanesia" Tanah Papua sebagai satu kesatuan historis dan filosofis hidup orang ras melanesia (Bangsa komunal, bukan bangsa individualistik)

Dapat diterangkan bahwa Tanah Papua dan rakyatnya "the people" adalah satu kesatuan "tubuh", pikiran dan jiwa, sekalipun terdiri dari ratusan suku suku komunal, makna "bhineka tunggal ika" yang sering di gunakan sebagai doktrin persatuan bernegara di republik ini, sejatinya telah lama mengakar dan di praktekkan dalam kehidupan sosial rakyat di Tanah Papua yang menggambarkan satu identitas rakyat dan bangsa Papua itu sendiri..

Sekalipun terjadi perang antar suku di Tanah Papua, itu merupakan ekspresi kebudayaan "tatanan hukum masyarakat adat" untuk menyelesaikan perselisihan di antara ratusan suku suku komunal yang mendiami Tanah Papua.. Sekalipun dalam berperang, adat dan tradisi tidak bisa dipisahkan dari cara menyelesaikan perselisihan dan bahkan selalu melibatkan anggota komunitas masyarakat yang lebih besar (tidak diputuskan secara individualistik).. Baik dalam hubungan sosial yang damai (seperti pernikahan, mendirikan rumah, membuka kebun, mengurus orang sakit), maupun dalam hal penyelesaian konflik melalui peperangan adat, semuanya dilakukan berdasarkan keputusan komunal "rakyat bersama sama pemimpin adat/kepala suku" untuk memutuskan dan menjalankan keputusan tersebut secara bersama sama..

Ketika, elit nasional mendorong gerakan pemekaran, melalui "otoritas sepihak pusat" tanpa meminta persetujuan dan pertimbangan masyarakat komunal yang sejatinya memiliki hak suara dan bahkan sebagai pemilik saham atas setiap lembah, gunung, hutan, pesisir pantai, maka, gerakan pemekaran tersebut merupakan "ide/gagasan" yang tercela dan tidak akan mendapatkan legitimasi dukungan dari rakyat di Tanah Papua..

Bahkan agenda pemekaran tersebut, dapat dimaknai sebagai "agenda pemecah belah, agenda pencetus permusuhan diantara masyarakat komunal" yang akan memperkeruh situasi kedamaian di Tanah Papua..

Jika sebelumnya peperangan hanya terjadi pada kelompok yang bekerja untuk gerakan politik pemisahan negara melawan kekuasaan vertikal pemerintah, maka dengan lahirnya "upaya pecah belah yang dimaknai sebagai agenda otoritatif pemekaran ala pusat", maka konflik yang akan berkembang dimasa masa mendatang akan berubah menjadi "katastrofi" konflik komunal yang justru akan menghancurkan sendi sendi kehidupan masyarakat adat di Tanah Papua..

Jika pilar sosial dan masyarakat adat terpecah belah dalam konflik horizontal, maka untuk tujuan apa masa depan pembangunan dilakukan di Tanah Papua? Untuk apa otsus di revisi jika pada akhirnya tatanan sosial masyarakat adat justru runtuh dan terjebak dalam konflik? Ataukah kondisi demikian diharapkan oleh para pendesain RUU pemekaran, agar Tanah Papua akan lebih mudah di kontrol dan dikendalikan.. Jika itu yang menjadi tujuannya, maka "laknat Tuhan lah" yang akan menimpa para perancang makar dan kerusakan di Tanah Papua.. Dan dengan segenap hati dan keyakinan, kami menolak untuk menerima takdir semacam itu.. Karena Rakyat dan bangsa Papua, merupakan bangsa pejuang, yang tidak akan tunduk pada kehendak luar yang ingin menghancurkan masa depan generasi di Tanah Papua.

BERITA VIDEO POPULER

BERITA TERKINI:

TERPOPULER HARI INI

KOLEKSI VIDEO POPULER

PT. JALUR INFO NUSANTARA

Jalur Informasi Independen & Terpercaya

Copyright 2020