
Mengapa Lembaga Survei Gagal Memprediksi Hasil Pilpres Turki?
Internasional | 2023-05-18

© Disediakan oleh Jalurinfo.com Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan gelar konferensi pers di Auditorium BICC, Bali, Rabu (16/11). Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
JALURINFO.COM, ANKARA-
Sejumlah lembaga survei gagal memprediksi hasil Pilpres Turki. Recep Tayyip Erdogan yang 'diramal' kalah dalam sekali putaran malah unggul dibandingkan pesaingnya, Kemal Kilicdaroglu.
Dalam survei yang dilakukan Alf Research pada 6-7 Maret 2023, misalnya, Erdogan diprediksi hanya mendapat 44,9 persen suara. Sementara Kilicdaroglu mengantongi 55,1 persen suara. Temuan dari sejumlah lembaga survei lain pun senada. Erdogan disebut kalah telak dan Turki akan punya pemimpun baru.
Kini pertanyannya adalah: Mengapa survei-survei bisa keliru dalam memprediksi kekalahan Erdogan?
Pengamat politik Timur Tengah Universitas Indonesia, Yon Machmudi, curiga bahwa ada banyak pendukung Erdogan yang tak ter-cover dalam survei. Terlebih, kata dia, Erdogan punya basis pendukung yang loyal selama dirinya dua dekade berkuasa.
“Saya kira ada faktor juga terkait pendukung loyal dari Erdogan yang memang berada pada basis-basis tertentu, ya, di wilayah-wilayah pedalaman yang mungkin tidak tercover oleh survei dan cenderung tidak muncul,” jelas Yon kepada kumparan, Selasa (16/5).
Sejauh ini, menurutnya, masyarakat Turki dihadapi dua pilihan. Tetap mempertahankan Erdogan yang konservatif atau kembali pada rezim terdahulu yang cenderung sekuler seperti yang bakal dibawa Kilicdaroglu. Persoalannya, kata dia, kelompok oposisi sulit untuk meyakinkan masyarakat pedesaan yang notabene jadi basis Erdogan yang religius.
“Tentu pendukung Kemal Kilicdaroglu cukup banyak. Tapi ya bagaimana upaya Erdogan yang selama 20 tahun berkuasa itu kemudian menjadi kekuatan tersendiri. Karena bagaimana pun, dia (Erdogan) menguasai birokrasi dan juga dasar negara,” kata Yon.
Survei sendiri pada dasarnya merupakan instrumen membaca perilaku pemilih saat kuisioner disebar. Sebuah survei akan sangat tergantung pada waktu, lokasi, serta kejujuran responden. Paling tidak ada 5 hal yang menyebabkan hasil survei tidak akurat.
Metode sampling: Jika sampel yang diambil tidak mewakili populasi dengan baik, maka hasil survei dapat menjadi tidak akurat.
Bias responden: Hasil survei dapat dipengaruhi oleh bias responden, yaitu sikap atau pendapat tertentu dari orang-orang yang setuju untuk diwawancarai. Mungkin ada kelompok tertentu yang lebih cenderung untuk berpartisipasi dalam survei, sementara kelompok lain tidak. Hal ini dapat mengakibatkan hasil survei tidak mewakili preferensi seluruh populasi.
Perubahan opini: Selama periode antara survei dan pemilu, pendapat dan preferensi pemilih dapat berubah. Faktor-faktor baru seperti peristiwa politik, kampanye, atau informasi tambahan dapat mempengaruhi keputusan pemilih.
Partisipasi pemilih: Tidak semua responden dalam survei akan benar-benar memberikan suara dalam pemilu. Beberapa responden mungkin tidak memenuhi syarat atau memutuskan untuk tidak memilih pada hari pemungutan suara. Partisipasi pemilih yang rendah atau perbedaan dalam komposisi pemilih yang memilih dapat menyebabkan perbedaan antara hasil survei dan hasil pemilu.
Margin of error: Setiap survei memiliki margin of error yang mengindikasikan sejauh mana hasil survei dapat berbeda dengan hasil sebenarnya dalam populasi
Dalam wawancaranya kepada kumparan pada 2018 lalu, Sekjen Perhimpunan Survei Opini Publik Indonesia (Persepi), Yunarto Wijaya, menegaskan survei bukanlah alat memprediksi hasil pemilu. Menurutnya, data yang diperoleh pun merupakan data saat survei yang harinya bisa jadi masih sangat jauh dari hari pemungutan suara.
"Makanya pertanyaannya 'jika pemilu dilakukan hari ini, bukan siapa yang akan Bapak pilih'," kata Yunarto.
Setiap lembaga survei punya metode yang berbeda dalam menentukan sample, jumlah responden, teknik pengolahan data, termasuk penyajiannya. Hasil survei tidak bisa dibandingkan antara satu lembaga survei dengan yang lain, karena waktu pengumpulan data pun berbeda.
"Survei kebutuhannya untuk kandidaat dan timses, bukan untuk masyarakat," ucap Direktur Eksekutif Charta Politika itu.
Salah satu lembaga survei yang terlibat pada Pemilu Turki adalah MAK. Mereka pun telah buka suara soal alasan hasil survei bisa berbeda dengan kenyataan. Menurut pejabat MAK, Mehmet Ali Kulat, gempa besar Turki dan bulan Ramadhan menyebabkan pihaknya kesulitan dalam menggelar jajak pendapat.
"Ada periode 20 hari setelah Ramadan dan secara legal, kami tak boleh menggelar jajak pendapat di 10 hari terakhir. Ini menyulitkan kami. Namun, sebagai perusahaan riset, kami tak boleh mencari-cari alasan," ujar Kulat kepada Reuters.
Sementara itu, ahli strategi perkembangan pasar SEB, Erik Meyerson, menyebut survei di Turki bisa saja salah jika warga tak jujur dalam mengisi survei. Hal itu pun menurutnya bisa terjadi di negara-negara lain.
"Pemilih mungkin memberikan sinyal soal ketidakpuasan mereka terhadap kebijakan pemerintah dengan memilih oposisi di survei, tapi pada kenyatannya mereka akan tetap memilih petahana saat pemilu," ujar Erik.
Survei Bisa Mempengaruhi Pemilih
Sebelum pemilu putaran pertama berlangsung, Presiden Erdogan sempat murka terhadap Barat. Pemimpin berusia 69 tahun itu melontarkan kritik tajam usai majalah The Economist pada edisi Mei menyasar dirinya dengan sampul bertuliskan ‘Erdogan harus pergi’, ‘Selamatkan demokrasi’, dan ‘Gunakan hak pilih’.
Selain The Economist, media asal Perancis Prancis Le Point dan L’Express turut membahas soal anti-Erdogan. Publikasi serupa juga terbit di majalah berita besar di Jerman, Spiegel, yang menuliskan soal ‘takhta’ Erdogan ‘sedang terguncang’.
Terkait publikasi-publikasi ini, Erdogan dalam sebuah acara kampanye pada Jumat (12/5) mengecam Barat dan menilai itu sebagai upaya eksternal untuk mempengaruhi opini masyarakat Turki.
“Bagaimana Anda menaruh kata-kata ini di sampul majalah-majalah tersebut? Ini bukan urusan Anda, Barat! Ini urusan bangsa saya untuk memutuskannya,” kecamnya.
Apa yang terjadi di Turki lalu membuat orang bertanya: Apakah hasil survei di sana juga merupakan bagian dari penggiringan opini itu? Sulit untuk memastikannya. Namun yang jelas, hubungan survei dengan kecenderungan memilih itu memang ada.
Dalam jurnal 'Bunga Rampai Tata Keola Pemilu Indonesia' (2020) yang diterbitkan KPU RI, survei bisa mempengaruhi pemilih pemula. Studi kasusnya adalah saat Pilkada Jakarta 2017 lalu.
Melalui analisis korelasi pearson, disebutkan bahwa hasil polling berpengaruh terhadap pembentukan opini pemilih pemula sebesar 30,5 persen. Pemilih pemula biasanya baru menginjak usia 17 tahun.
Ekonomi Turki Masih Kacau
Terlapas dari hasil pemilu, publik Turki sendiri memang tenah berjuang dari krisis. Sejak akhir pemilu 2018, inflasi Turki konsisten berada di angka dua digit. Inflasi dimulai setelah krisis mata uang pada akhir 2021. Itu disebabkan oleh pemotongan suku bunga dan kebijakan ekonomi gaya non-ortodoks yang dilakukan Erdogan.
Mata uang Turki, Lira, pada 2021 kehilangan nilai sebesar 44 persen. Pada 2022 sebanyak 30 persen. Total sejak periode kedua Erdogan menjabat nilai Lira hilang sebanyak 76 persen. Publik pun mengeluh lantaran harga bahan-bahan pokok terus membengkak.
Tak hanya soal inflasi, turunnya dukungan terhadap Erdogan juga disebabkan oleh lambannya penanganan pemerintah saat gempa dahsyat melanda Turki pada Februari 2023 lalu.
Gempa berkekuatan 7,8 magnitudo itu menyebabkan 50 ribu lebih warga Turki kehilangan tempat tinggal. Mayoritas warga menilai pemerintah seharusnya bisa mencegah kerusakan masif.
Di tengah krisis itulah Kilicdaroglu datang. Ia merupakan pemimpin partai oposisi sekuler utama di Turki Partai Rakyat Republik (Cumhuriyet Halk Partisi/CHP). Dia adalah satu-satunya kandidat yang diusung oleh koalisi enam partai oposisi. Koalisi besar yang terdiri atas partai sayap kanan, kiri, dan tengah ini disebut juga dengan Table of Six atau Aliansi Bangsa.
Mereka memegang mimpi mengembalikan sistem pemerintahan Turki kembali ke parlementer, setelah sempat diubah menjadi eksekutif-presidensial oleh Erdogan pada 2016 ketika kudeta terhadap pemerintahannya saat itu gagal.
Pemilu Turki 2023 ini turut bakal menentukan ke arah mana Turki sebagai sekutu NATO di tahun-tahun mendatang. Sebab, Kilicdaroglu punya keinginan agar Turki kembali ke pro-Barat dan lebih demokratis.
Sumber: Kumparan.com
Dalam survei yang dilakukan Alf Research pada 6-7 Maret 2023, misalnya, Erdogan diprediksi hanya mendapat 44,9 persen suara. Sementara Kilicdaroglu mengantongi 55,1 persen suara. Temuan dari sejumlah lembaga survei lain pun senada. Erdogan disebut kalah telak dan Turki akan punya pemimpun baru.
Baca juga: Gempa Besar Guncang Maroko, Ribuan Korban
Baca juga: Otoritas Maroko Sebut Korban Gempa Menjadi 632 Orang
Persoalannya, berdasarkan hasil penghitungan suara, Minggu (15/5), sang petahana justru mendapat sekitar 49,5 persen suara hampir menyentuh ambang batas untuk menang satu putaran. Sementara Kilicdaroglu mendapat 45 persen suara dan calon lainnya, Sinan Ogan, hanya memperoleh 5,5 persen suara. Praktis, pemilu akan dilaksanakan dalam dua putaran pada 28 Mei mendatang antara Erdogan dan Kilicdaroglu.Kini pertanyannya adalah: Mengapa survei-survei bisa keliru dalam memprediksi kekalahan Erdogan?
Baca juga: Update Gempa Maroko, 296 Tewas
Baca juga: Bencana Gempa Bumi 6,9 skala Richter di Maroko
Problem Metodologi SurveiPengamat politik Timur Tengah Universitas Indonesia, Yon Machmudi, curiga bahwa ada banyak pendukung Erdogan yang tak ter-cover dalam survei. Terlebih, kata dia, Erdogan punya basis pendukung yang loyal selama dirinya dua dekade berkuasa.
Baca juga: PBB Setuju dengan Persyaratan Rusia untuk Melanjutkan Kesepakatan Gandum
Baca juga: Video Istambul Kembali Dilanda Banjir, Beberapa Korban Meninggal Dunia
“Saya kira ada faktor juga terkait pendukung loyal dari Erdogan yang memang berada pada basis-basis tertentu, ya, di wilayah-wilayah pedalaman yang mungkin tidak tercover oleh survei dan cenderung tidak muncul,” jelas Yon kepada kumparan, Selasa (16/5).
Sejauh ini, menurutnya, masyarakat Turki dihadapi dua pilihan. Tetap mempertahankan Erdogan yang konservatif atau kembali pada rezim terdahulu yang cenderung sekuler seperti yang bakal dibawa Kilicdaroglu. Persoalannya, kata dia, kelompok oposisi sulit untuk meyakinkan masyarakat pedesaan yang notabene jadi basis Erdogan yang religius.
“Tentu pendukung Kemal Kilicdaroglu cukup banyak. Tapi ya bagaimana upaya Erdogan yang selama 20 tahun berkuasa itu kemudian menjadi kekuatan tersendiri. Karena bagaimana pun, dia (Erdogan) menguasai birokrasi dan juga dasar negara,” kata Yon.
Survei sendiri pada dasarnya merupakan instrumen membaca perilaku pemilih saat kuisioner disebar. Sebuah survei akan sangat tergantung pada waktu, lokasi, serta kejujuran responden. Paling tidak ada 5 hal yang menyebabkan hasil survei tidak akurat.
Metode sampling: Jika sampel yang diambil tidak mewakili populasi dengan baik, maka hasil survei dapat menjadi tidak akurat.
Bias responden: Hasil survei dapat dipengaruhi oleh bias responden, yaitu sikap atau pendapat tertentu dari orang-orang yang setuju untuk diwawancarai. Mungkin ada kelompok tertentu yang lebih cenderung untuk berpartisipasi dalam survei, sementara kelompok lain tidak. Hal ini dapat mengakibatkan hasil survei tidak mewakili preferensi seluruh populasi.
Perubahan opini: Selama periode antara survei dan pemilu, pendapat dan preferensi pemilih dapat berubah. Faktor-faktor baru seperti peristiwa politik, kampanye, atau informasi tambahan dapat mempengaruhi keputusan pemilih.
Partisipasi pemilih: Tidak semua responden dalam survei akan benar-benar memberikan suara dalam pemilu. Beberapa responden mungkin tidak memenuhi syarat atau memutuskan untuk tidak memilih pada hari pemungutan suara. Partisipasi pemilih yang rendah atau perbedaan dalam komposisi pemilih yang memilih dapat menyebabkan perbedaan antara hasil survei dan hasil pemilu.
Margin of error: Setiap survei memiliki margin of error yang mengindikasikan sejauh mana hasil survei dapat berbeda dengan hasil sebenarnya dalam populasi
Dalam wawancaranya kepada kumparan pada 2018 lalu, Sekjen Perhimpunan Survei Opini Publik Indonesia (Persepi), Yunarto Wijaya, menegaskan survei bukanlah alat memprediksi hasil pemilu. Menurutnya, data yang diperoleh pun merupakan data saat survei yang harinya bisa jadi masih sangat jauh dari hari pemungutan suara.
"Makanya pertanyaannya 'jika pemilu dilakukan hari ini, bukan siapa yang akan Bapak pilih'," kata Yunarto.
Setiap lembaga survei punya metode yang berbeda dalam menentukan sample, jumlah responden, teknik pengolahan data, termasuk penyajiannya. Hasil survei tidak bisa dibandingkan antara satu lembaga survei dengan yang lain, karena waktu pengumpulan data pun berbeda.
"Survei kebutuhannya untuk kandidaat dan timses, bukan untuk masyarakat," ucap Direktur Eksekutif Charta Politika itu.
Salah satu lembaga survei yang terlibat pada Pemilu Turki adalah MAK. Mereka pun telah buka suara soal alasan hasil survei bisa berbeda dengan kenyataan. Menurut pejabat MAK, Mehmet Ali Kulat, gempa besar Turki dan bulan Ramadhan menyebabkan pihaknya kesulitan dalam menggelar jajak pendapat.
"Ada periode 20 hari setelah Ramadan dan secara legal, kami tak boleh menggelar jajak pendapat di 10 hari terakhir. Ini menyulitkan kami. Namun, sebagai perusahaan riset, kami tak boleh mencari-cari alasan," ujar Kulat kepada Reuters.
Sementara itu, ahli strategi perkembangan pasar SEB, Erik Meyerson, menyebut survei di Turki bisa saja salah jika warga tak jujur dalam mengisi survei. Hal itu pun menurutnya bisa terjadi di negara-negara lain.
"Pemilih mungkin memberikan sinyal soal ketidakpuasan mereka terhadap kebijakan pemerintah dengan memilih oposisi di survei, tapi pada kenyatannya mereka akan tetap memilih petahana saat pemilu," ujar Erik.
Survei Bisa Mempengaruhi Pemilih
Sebelum pemilu putaran pertama berlangsung, Presiden Erdogan sempat murka terhadap Barat. Pemimpin berusia 69 tahun itu melontarkan kritik tajam usai majalah The Economist pada edisi Mei menyasar dirinya dengan sampul bertuliskan ‘Erdogan harus pergi’, ‘Selamatkan demokrasi’, dan ‘Gunakan hak pilih’.
Selain The Economist, media asal Perancis Prancis Le Point dan L’Express turut membahas soal anti-Erdogan. Publikasi serupa juga terbit di majalah berita besar di Jerman, Spiegel, yang menuliskan soal ‘takhta’ Erdogan ‘sedang terguncang’.
Terkait publikasi-publikasi ini, Erdogan dalam sebuah acara kampanye pada Jumat (12/5) mengecam Barat dan menilai itu sebagai upaya eksternal untuk mempengaruhi opini masyarakat Turki.
“Bagaimana Anda menaruh kata-kata ini di sampul majalah-majalah tersebut? Ini bukan urusan Anda, Barat! Ini urusan bangsa saya untuk memutuskannya,” kecamnya.
Apa yang terjadi di Turki lalu membuat orang bertanya: Apakah hasil survei di sana juga merupakan bagian dari penggiringan opini itu? Sulit untuk memastikannya. Namun yang jelas, hubungan survei dengan kecenderungan memilih itu memang ada.
Dalam jurnal 'Bunga Rampai Tata Keola Pemilu Indonesia' (2020) yang diterbitkan KPU RI, survei bisa mempengaruhi pemilih pemula. Studi kasusnya adalah saat Pilkada Jakarta 2017 lalu.
Melalui analisis korelasi pearson, disebutkan bahwa hasil polling berpengaruh terhadap pembentukan opini pemilih pemula sebesar 30,5 persen. Pemilih pemula biasanya baru menginjak usia 17 tahun.
Ekonomi Turki Masih Kacau
Terlapas dari hasil pemilu, publik Turki sendiri memang tenah berjuang dari krisis. Sejak akhir pemilu 2018, inflasi Turki konsisten berada di angka dua digit. Inflasi dimulai setelah krisis mata uang pada akhir 2021. Itu disebabkan oleh pemotongan suku bunga dan kebijakan ekonomi gaya non-ortodoks yang dilakukan Erdogan.
Mata uang Turki, Lira, pada 2021 kehilangan nilai sebesar 44 persen. Pada 2022 sebanyak 30 persen. Total sejak periode kedua Erdogan menjabat nilai Lira hilang sebanyak 76 persen. Publik pun mengeluh lantaran harga bahan-bahan pokok terus membengkak.
Tak hanya soal inflasi, turunnya dukungan terhadap Erdogan juga disebabkan oleh lambannya penanganan pemerintah saat gempa dahsyat melanda Turki pada Februari 2023 lalu.
Gempa berkekuatan 7,8 magnitudo itu menyebabkan 50 ribu lebih warga Turki kehilangan tempat tinggal. Mayoritas warga menilai pemerintah seharusnya bisa mencegah kerusakan masif.
Di tengah krisis itulah Kilicdaroglu datang. Ia merupakan pemimpin partai oposisi sekuler utama di Turki Partai Rakyat Republik (Cumhuriyet Halk Partisi/CHP). Dia adalah satu-satunya kandidat yang diusung oleh koalisi enam partai oposisi. Koalisi besar yang terdiri atas partai sayap kanan, kiri, dan tengah ini disebut juga dengan Table of Six atau Aliansi Bangsa.
Mereka memegang mimpi mengembalikan sistem pemerintahan Turki kembali ke parlementer, setelah sempat diubah menjadi eksekutif-presidensial oleh Erdogan pada 2016 ketika kudeta terhadap pemerintahannya saat itu gagal.
Pemilu Turki 2023 ini turut bakal menentukan ke arah mana Turki sebagai sekutu NATO di tahun-tahun mendatang. Sebab, Kilicdaroglu punya keinginan agar Turki kembali ke pro-Barat dan lebih demokratis.
Sumber: Kumparan.com
TOPIK TERKAIT:
-
Deretan Perancang Busana Lokal Gelar Fashion Show di F8 Makassar
-
Video Presiden China Xi Jinping Tiba di Afrika Selatan untuk KTT BRICS
-
Video Detik-detik Rudal Rusia Hantam Hotel Tempat Penginapan Tentara Bayaran Asing di Zaporizhzhya
-
Rusia Kritik Tekanan Barat pada Iran
-
Cina Luncurkan Serangan Skala Besar ke Taiwan Dua Kali pada Pekan ini
-
Terkait Pembakaran Al-Quran, PM Swedia: Kami Punya Pandangan HAM yang Sepenuhnya Berbeda
-
Rusia: Semakin Banyak Negara yang Berniat Masuk BRICS
-
Denmark-Swedia: Situasinya Sudah Berbahaya Akibat Pembakaran Alquran
-
Medvedev: Kami Terpaksa Gunakan Senjata Nuklir Jika Serangan Ukraina Berhasil
JALURINFO VIDEO NEWS

Petualangan Luar Biasa di Keajaiban Alam Tertinggi: Angel Falls, Venezuela

Pesona Sejarah dan Keindahan Alam: Liburan Santai di Sirmione, Resor Terkenal di Danau Garda

Masjid Al Sahaba: Perpaduan Keindahan Modern di Pusat Sejarah Sharm el-Sheikh

Three Gorges, Keajaiban Pembangkit Listrik Tenaga Air Terbesar di Dunia

Keunikan Beruang Kutub di Arktik, Pesona di Atas Es Tipis



JALURINFO TV NETWORK
BERITA TERKINI:
Selamatkan Aset dan Hak Pedagang, Pemkot Makassar Ambil Alih Pengelolaan Pasar Butung
Viewnum 176
1 hari yang lalu
TP PKK Kota Makassar Terima Kunjungan Studi Tiru TP PKK Kabupaten Bulukumba
Viewnum 209
1 hari yang lalu
Bersama Tim Gabungan, Disdagkop UKMP Lutim Tertibkan Pedagang di Terminal Wawondula
Viewnum 233
1 hari yang lalu
Upacara Hari Kesaktian Pancasila di Lingkup Pemkab. Lutim Berlangsung Hikmat
Viewnum 165
1 hari yang lalu
Danny Pomanto Pimpin Upacara Hari Kesaktian Pancasila, Pesan Pupuk Persatuan dan Kekompakan
Viewnum 300
1 hari yang lalu
Momentum HUT TNI, Danny Pomanto: Masyarakat Makassar Turut Bergembira karena TNI Dekat dengan Rakyat
Viewnum 187
1 hari yang lalu
TERPOPULER HARI INI

Isu Dukungan Pada Bupati MB Siap Bertarung Menuju Senayan Makin Gencar
ViewNum 1595 kali

Adnan Lantik Ketua PMI Palopo dan Luwu Periode 2023- 2027
ViewNum 1119 kali

Andi Batari Toja Siap Tuntaskan Masalah Kekeringan di Enrekang
ViewNum 4313 kali

Sekda Enrekang Launching Inovasi "SI ISTRI PEMBELI EMAS"
ViewNum 1000 kali

Studi Tiru Ke Kota Bekasi, PKK Gowa Perluas Wawasan 10 Program Pokok PKK
ViewNum 1609 kali

Jelang Pemilu 2024 Reses Anggota DPRD Enrekang Tetap Maksimal
ViewNum 1022 kali

Gempa Besar Guncang Maroko, Ribuan Korban
ViewNum 1237 kali

Warga Respon Baik Operasi Zebra Pallawa 2023 Wilayah Polres Enrekang
ViewNum 1136 kali

Otoritas Maroko Sebut Korban Gempa Menjadi 632 Orang
ViewNum 1223 kali

Update Gempa Maroko, 296 Tewas
ViewNum 1213 kali

Bencana Gempa Bumi 6,9 skala Richter di Maroko
ViewNum 1111 kali
